Siapa yang menjadi warga
negara dijelaskan dalam Pasal 26 UUD-1945
A.
Sering
kita mendengar ucapan istilah penduduk “Pribumi dan Non Pribumi”, yang dapat
memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Pribumi atau penduduk
asli adalah setiap orang yang lahir di suatu tempat, wilayah atau negara, dan
menetap di sana dengan status orisinal atau asli atau tulen (indigenious)
sebagai kelompok etnis yang diakui sebagai suku
bangsa bukan pendatang dari negeri lainnya. Pribumi bersifat autochton (melekat
pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada
setiap orang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat
tersebut.
Dalam
masa kolonial Belanda, pribumi dipakai sebagai istilah bahasa Melayu untuk Inlanders,
salah satu kelompok penduduk Hindia-Belanda yang
berasal dari suku-suku asli KepulauanNusantara.
Oleh karena itu, penduduk Indonesia keturunan Cina, India, Arab (semuanya
dimasukkan dalam satu kelompok, Vreemde Oosterlingen), Eropa, maupun
campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi
dilahirkan di Indonesia. Pengelompokan ini dalam idea tidak rasistis, karena
dapat terjadi perpindahan dari satu kelompok ke kelompok lain, tetapi dalam
praktek menjadi rasistis karena terjadi pembedaan penempatan dalam publik,
perbedaan pengupahan/penggajian, larangan penggunaan bahasa Belanda untuk
kelompok tertentu, dan sebagainya.
Di antara penduduk asli
terdapat kelompok masyarakat adat, yaitu suku-suku
terasing atau
suku-suku yang sedang berkembang, bahkan ada suku terasing yang masih menjalani
kehidupannya seperti masyarakat Zaman Batu.
Pendapat yang beredar luas di
Indonesia mengenai istilah pribumi dan non-pribumi adalah pribumi didefinisikan
sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di
Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat
asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai
non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat
seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan
penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka.
Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi.
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa.
Inilah mengapa, diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun terpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998.
Sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita wajib menyadarkan sesama kita – bangsa kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, pemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman hegomoni asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional company. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Karena istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam, sudah saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”. Seorang patriot adalah yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para patriot tersebut saat ini. Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka yang merusak bangsa kita demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa, kebijakan pro-konglomerasi, dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti keluarga di pemerintahan, legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu memata-matai tindak tanduk mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili para penghianat tersebut.
Tentunya gerakan reformasi rakyat untuk melawan penghianat dan penjajah baru ini bukanlah dengan revolusi berdarah, tapi dapat dilakukan dengan reformasi rakyat terutama dari pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi badan legislatif yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem edukasi di lembaga pendidikan. Untuk itu, diharapkan para tokoh bangsa turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta edukasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer.
Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama. Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur.
Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 (diambil sebagian) adalah:
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI).
Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi.
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa.
Inilah mengapa, diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun terpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998.
Sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita wajib menyadarkan sesama kita – bangsa kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, pemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman hegomoni asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional company. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Karena istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam, sudah saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”. Seorang patriot adalah yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para patriot tersebut saat ini. Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka yang merusak bangsa kita demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa, kebijakan pro-konglomerasi, dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti keluarga di pemerintahan, legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu memata-matai tindak tanduk mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili para penghianat tersebut.
Tentunya gerakan reformasi rakyat untuk melawan penghianat dan penjajah baru ini bukanlah dengan revolusi berdarah, tapi dapat dilakukan dengan reformasi rakyat terutama dari pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi badan legislatif yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem edukasi di lembaga pendidikan. Untuk itu, diharapkan para tokoh bangsa turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta edukasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer.
Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama. Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur.
Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 (diambil sebagian) adalah:
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI).
B. Jawab pertanyaan berikut: Dalam bentuk tulisan bebas
dengan judul sesuai pertanyaan.
1. Apakah ada di Indonesia penduduk asli?Kalau ada di
mana domisilinya?
Kembali ke masa prasejarah, penduduk
wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus
beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar
Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang.
Berdasarkan fosil-fosil yang telah
ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua
juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia
purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo
Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya.
Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang
kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.
Dengan demikian, yang berhak
mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau
Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan
batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah
dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian
kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari
Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya
menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk
type Veddoid-Austrolaid.
Bangsa Melanesoide dengan
kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah
mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka
genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat
ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan.
Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa
ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan
semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang
ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih
tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
Dari semua gelombang pendatang dapat
dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika
kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah sesuatu hal yang
aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan
daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka
yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap
hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya
masih rendah. Mereka belum sanggup menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan
tanah. Mereka membutuhkan sistem pertanian yang ekstensif, dan perpindahan
untuk penguasaan lahan-lahan baru setiap jangka waktu tertentu. Sebelum
didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara belum menjadi
kepemilikan siapapun.
Hal ini berbeda dengan Manusia
Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena
mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya adalah
mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah
lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan
atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah
Nusantara di lembah-lembah sungai) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula
yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka
mulai menetap walaupun semi nomaden. Mereka akan pindah jika sudah tidak
mendapatkan lagi makanan.
Maka pilihan atas tempat-tempat yang
akan ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai
pula yang akan menjadi targetannya. Padahal, wilayah ini adalah juga wilayah di
mana para penduduk asli mengumpulkan makanannya.
Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak pendek dan sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal yaitu:
Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak pendek dan sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal yaitu:
1. Penduduk asli ditumpas, atau
2. Mereka diharuskan masuk dan
bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
3. Mereka yang ditaklukkan dijadikan
hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem untuk melayani para pemenang
perang.
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa
Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang
kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni
bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari
daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang
me-nyebabkan bangsa Melayu tua meninggalkan asalnya yaitu :
1. Adanya desakan suku-suku liar
yang datangnya dari Asia Tengah;
2. Adanya peperangan antar suku;
3. Adanya bencana alam berupa banjir
akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah
tersebut.
Suku-suku dari Asia tengah yakni
Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat
kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan
Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Dari
artefak yang ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan
kapak persegi.Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan
Neolitikum. Ini berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok
tanam yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian
mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini
membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen.
Pola menetap ini mengharuskan mereka
untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun
satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka.
Pengorganisasian ini membuat mereka
sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai
peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistim kepercayaan
untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian
mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan dua peradaban yang
berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan peperangan-peperangan untuk
memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang
lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang
mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa
pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku
bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu,
dan Anak Dalam.
Arus pendatang tidak hanya datang
dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah
asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa
bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap.
Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran.
Wilayah yang sudah mulai ditempati
oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa
Melayu Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah
baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus
menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah
mereka.
Namun kedatangan bangsa Melayu Tua
ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan
bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa
Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman.
Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu
serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman
Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di
Irian dan pulau-pulau Melanesia.
Pada gelombang migrasi kedua dari
Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah
bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda
atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi
lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam
sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda
mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan
pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa
Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa
melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja,
orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai
tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan
menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.
Dari seluruh pendatang yang pindah
dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak seluruhnya menetap di Nusantara.
Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan kemudian kembali ke
kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau kembali ke Nusantara.
Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa
dan adat para imigran. Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak
ada penggantian penduduk secara besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah
yang menjadi cikal bakal Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras
kuning (mongoloid) yang bermigrasi ke selatan dari Yunan, ras hitam yang
dimiliki oleh bangsa Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.
Sehingga tidak ada penduduk atau ras
asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba yang ditemukan
fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia terdesak
terus oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga secara historis-etnologis
terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau kehilangan
ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru. Semua adalah
bangsa-bangsa pendatang.
Suku-suku asli Indonesia :
a. Suku Asmat
b. Suku Banjar
c. Suku Damal
d. Suku Dani
e. Suku Buol
f. Suku Dayak
g. Suku Dayak Tingalan
h. Suku Yali
2.
Kenapa
timbul isu istilah Pribumi dan Non Pribumi
Setelah berlakunya UU 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang
lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang istilah
pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006, antara lain:
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI) Atas dasar UU diatas dan latar belakang munculnya isu pribumi dan non pribumi yang telah dijelaskan, sangatlah tidak pantas apabila isu ini masih dipermasalahkan dan diungkit kembali di masa ini.
Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UU 12 tahun 2006 mengenai dasar dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan status antara satu dengan lainnya. Kita wajib menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, kemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006, antara lain:
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI) Atas dasar UU diatas dan latar belakang munculnya isu pribumi dan non pribumi yang telah dijelaskan, sangatlah tidak pantas apabila isu ini masih dipermasalahkan dan diungkit kembali di masa ini.
Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UU 12 tahun 2006 mengenai dasar dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan status antara satu dengan lainnya. Kita wajib menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, kemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
http://www.mail-archive.com/budaya_tionghua@yahoogroups.com/msg03792.html
Sumber : http://suciptoardi.wordpress.com/2009/03/22/siapakah-pribumi-asli-nusantara/
Sumber : Wikipedia.com
Sumber : http://m-adinugraha.blogspot.com/2010/11/pribumi-dan-non-pribumi.html
Sumber : http://mariozefanya.blogspot.com/2010/11/pribumi-wni-penduduk-menurut-pasal-26.html
Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19229/5/Chapter%20I.pdf
Sumber : http://suciptoardi.wordpress.com/2009/03/22/siapakah-pribumi-asli-nusantara/
Sumber : Wikipedia.com
Sumber : http://m-adinugraha.blogspot.com/2010/11/pribumi-dan-non-pribumi.html
Sumber : http://mariozefanya.blogspot.com/2010/11/pribumi-wni-penduduk-menurut-pasal-26.html
Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19229/5/Chapter%20I.pdf
3. Siapa saja yang dimaksud Non Pribumi
Pribumi dan non pribumi
sejatinya adalah suatu identitas diri manusia yang dibawa sejak lahir.
Seseorang dikatakan sebagai warga pribumi apabila dilahirkan di suatu tempat
atau wilayah atau negara dan menetap di sana. Pribumi ini bersifat autichton
(melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan
kepada setiap orang yang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di
suatu tempat tersebut. Pribumi sendiri memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi
(tanah atau tempat tinggal yang berstatus hak milik pribadi). Namun dari
definisi dan penjabaran tentang pribumi di atas masih menyisakan beberapa
pertanyaan.
Pertama adalah, seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi adalah sekedar dari melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini bertentangan tentang makna asli yang terkandung dari istilah ‘pribumi’.
Pertama adalah, seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi adalah sekedar dari melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini bertentangan tentang makna asli yang terkandung dari istilah ‘pribumi’.
http://www.mail-archive.com/budaya_tionghua@yahoogroups.com/msg03792.html
Sumber : http://suciptoardi.wordpress.com/2009/03/22/siapakah-pribumi-asli-nusantara/
Sumber : Wikipedia.com
Sumber : http://m-adinugraha.blogspot.com/2010/11/pribumi-dan-non-pribumi.html
Sumber : http://mariozefanya.blogspot.com/2010/11/pribumi-wni-penduduk-menurut-pasal-26.html
Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19229/5/Chapter%20I.pdf
Sumber : http://suciptoardi.wordpress.com/2009/03/22/siapakah-pribumi-asli-nusantara/
Sumber : Wikipedia.com
Sumber : http://m-adinugraha.blogspot.com/2010/11/pribumi-dan-non-pribumi.html
Sumber : http://mariozefanya.blogspot.com/2010/11/pribumi-wni-penduduk-menurut-pasal-26.html
Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19229/5/Chapter%20I.pdf
4. Kenapa istilah Non Pribumi yang menonjol hanya pada
etis Tionghoa
Masa Orde Baru
Pada tahun 1965 terjadi pergolakan
politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu pergantian orde, dari orde lama ke
orde baru. Orde lama yang memberi ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan
orde baru yang membasmi keberadaan Komunis di Indonesia.
Bersamaan
dengan perubahan politik itu rezim Orde Baru melarang
segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan
adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam
Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat
keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah
leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan.
Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat
keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping
Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran
No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu
disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi
nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim.
Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya
itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi
Intelijen (Bakin).
Etnis Tionghoa
Masa Kini (Era Reformasi)
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa
5. Langkah apa yang dapat andaa
sarankan untuk menghilangkan isu pribumi dan non pribumi di Indonesia
Isu
pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif pada masa
penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara
Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman pada pasal
26 UUD 1945 mengenai dasar dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita
sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan
suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan
status antara satu dengan lainnya. Kita wajib
menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi
bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi
dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan,kemiskinan,
lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam
bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita adalah
untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar