Jumat, 12 April 2013

WARGANEGARA DALAM PASAL 26 UUD 1945


Siapa yang menjadi warga negara dijelaskan dalam Pasal 26 UUD-1945
A.      Sering kita mendengar ucapan istilah penduduk “Pribumi dan Non Pribumi”, yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Pribumi atau penduduk asli adalah setiap orang yang lahir di suatu tempat, wilayah atau negara, dan menetap di sana dengan status orisinal atau asli atau tulen (indigenious) sebagai kelompok etnis yang diakui sebagai suku bangsa bukan pendatang dari negeri lainnya. Pribumi bersifat autochton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut.
Dalam masa kolonial Belanda, pribumi dipakai sebagai istilah bahasa Melayu untuk Inlanders, salah satu kelompok penduduk Hindia-Belanda yang berasal dari suku-suku asli KepulauanNusantara. Oleh karena itu, penduduk Indonesia keturunan Cina, India, Arab (semuanya dimasukkan dalam satu kelompok, Vreemde Oosterlingen), Eropa, maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pengelompokan ini dalam idea tidak rasistis, karena dapat terjadi perpindahan dari satu kelompok ke kelompok lain, tetapi dalam praktek menjadi rasistis karena terjadi pembedaan penempatan dalam publik, perbedaan pengupahan/penggajian, larangan penggunaan bahasa Belanda untuk kelompok tertentu, dan sebagainya.
Di antara penduduk asli terdapat kelompok masyarakat adat, yaitu suku-suku terasing atau suku-suku yang sedang berkembang, bahkan ada suku terasing yang masih menjalani kehidupannya seperti masyarakat Zaman Batu.
Pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka.
Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi.
Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa.
Inilah mengapa, diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun terpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998. 
Sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita wajib menyadarkan sesama kita – bangsa kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, pemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman hegomoni asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional company. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Karena istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam, sudah saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”. Seorang patriot adalah yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para patriot tersebut saat ini. Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka yang merusak bangsa kita demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa, kebijakan pro-konglomerasi, dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti keluarga di pemerintahan, legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu memata-matai tindak tanduk mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili para penghianat tersebut.
Tentunya gerakan reformasi rakyat untuk melawan penghianat dan penjajah baru ini bukanlah dengan revolusi berdarah, tapi dapat dilakukan dengan reformasi rakyat terutama dari pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi badan legislatif yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem edukasi di lembaga pendidikan. Untuk itu, diharapkan para tokoh bangsa turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta edukasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer.
Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama. Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur.
Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 (diambil sebagian) adalah:
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI).
B.      Jawab pertanyaan berikut: Dalam bentuk tulisan bebas dengan judul sesuai pertanyaan.

1.      Apakah ada di Indonesia penduduk asli?Kalau ada di mana domisilinya?
Kembali ke masa prasejarah, penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang.
Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.
Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.
 Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka belum sanggup menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-lahan baru setiap jangka waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara belum menjadi kepemilikan siapapun.
Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di lembah-lembah sungai) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun semi nomaden. Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan.
Maka pilihan atas tempat-tempat yang akan ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai pula yang akan menjadi targetannya. Padahal, wilayah ini adalah juga wilayah di mana para penduduk asli mengumpulkan makanannya.
Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak pendek dan sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal yaitu:
1. Penduduk asli ditumpas, atau
2. Mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
3. Mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem untuk melayani para pemenang perang.
Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang me-nyebabkan bangsa Melayu tua meninggalkan asalnya yaitu :
1. Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;
2. Adanya peperangan antar suku;
3. Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut.
Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Dari artefak yang ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak persegi.Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum. Ini berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen.
Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka.
Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak Dalam.
Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran.
Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah mereka.
Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia.
Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.
Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak seluruhnya menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan kemudian kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau kembali ke Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning (mongoloid) yang bermigrasi ke selatan dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.
Sehingga tidak ada penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba yang ditemukan fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia terdesak terus oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga secara historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru. Semua adalah bangsa-bangsa pendatang.
Suku-suku asli Indonesia :
a. Suku Asmat
b. Suku Banjar
c. Suku Damal
d. Suku Dani
e. Suku Buol
f. Suku Dayak
g. Suku Dayak Tingalan
h. Suku Yali
2.      Kenapa timbul isu istilah Pribumi dan Non Pribumi

Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang istilah pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis.
Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006, antara lain:
• Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
• anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
• Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI) Atas dasar UU diatas dan latar belakang munculnya isu pribumi dan non pribumi yang telah dijelaskan, sangatlah tidak pantas apabila isu ini masih dipermasalahkan dan diungkit kembali di masa ini. 
Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UU 12 tahun 2006 mengenai dasar dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan status antara satu dengan lainnya. Kita wajib menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, kemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 
http://www.mail-archive.com/budaya_tionghua@yahoogroups.com/msg03792.html
Sumber : http://suciptoardi.wordpress.com/2009/03/22/siapakah-pribumi-asli-nusantara/
Sumber : Wikipedia.com
Sumber : http://m-adinugraha.blogspot.com/2010/11/pribumi-dan-non-pribumi.html
Sumber : http://mariozefanya.blogspot.com/2010/11/pribumi-wni-penduduk-menurut-pasal-26.html
Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19229/5/Chapter%20I.pdf

3.      Siapa saja yang dimaksud Non Pribumi
Pribumi dan non pribumi sejatinya adalah suatu identitas diri manusia yang dibawa sejak lahir. Seseorang dikatakan sebagai warga pribumi apabila dilahirkan di suatu tempat atau wilayah atau negara dan menetap di sana. Pribumi ini bersifat autichton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang yang terlahir dengan orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Pribumi sendiri memiliki ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah atau tempat tinggal yang berstatus hak milik pribadi). Namun dari definisi dan penjabaran tentang pribumi di atas masih menyisakan beberapa pertanyaan.
Pertama adalah, seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi adalah sekedar dari melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini bertentangan tentang makna asli yang terkandung dari istilah ‘pribumi’. 
http://www.mail-archive.com/budaya_tionghua@yahoogroups.com/msg03792.html
Sumber : http://suciptoardi.wordpress.com/2009/03/22/siapakah-pribumi-asli-nusantara/
Sumber : Wikipedia.com
Sumber : http://m-adinugraha.blogspot.com/2010/11/pribumi-dan-non-pribumi.html
Sumber : http://mariozefanya.blogspot.com/2010/11/pribumi-wni-penduduk-menurut-pasal-26.html
Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19229/5/Chapter%20I.pdf

4.      Kenapa istilah Non Pribumi yang menonjol hanya pada etis Tionghoa
Masa Orde Baru

Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan Komunis di Indonesia. 

        Bersamaan dengan perubahan politik itu rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).

Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)

Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa

5.      Langkah apa yang dapat andaa sarankan untuk menghilangkan isu pribumi dan non pribumi di Indonesia

Isu pribumi dan non pribumi hanyalah hasil dari perlakuan diskriminatif pada masa penjajahan dahulu. Sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita harus kembali berpedoman pada pasal 26 UUD 1945 mengenai dasar dasar kriteria warga negara Indonesia. Apabila kita sudah mengakui sebagai sesama WNI, kita sudah tidak boleh memandang perbedaan suku, ras, budaya, dan agama sebagai permasalahan, dan saling merendahkan status antara satu dengan lainnya. Kita wajib menyadarkan sesama kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan,kemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman pihak asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar